Banyak Kepala Daerah yang Terjangkit Kasus Korupsi, Pegiat Anti Korupsi: Efek Jera Masih Lemah
KRAKATAURADIO.COM - Berdasarkan data yang dipegang Menteri
Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, ada sebanyak 77 Kepala Daerah, baik itu Gubernur,
Walikota dan Bupati yang terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terbaru, Walikota Cilegon, Banten, Tb. Iman Ariyadi ditangkap
KPK karena dugaan kasus suap pada Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal
(BPTPM) Kota Cilegon tahun 2017.
Bahkan, kini status tersangka sudah disematkan kepadanya bersama dengan pihak
lainnya yang memberi suap.
Pegiat anti korupsi di Provinsi
Banten, Uday Suhada, mengaku miris dengan banyaknya angka Kepala Daerah yang menjadi
tersangka kasus yang semestinya diperangi tersebut.
“Sebagai warga Banten, saya tentu
saja ikut prihatin dan miris dengan peristiwa OTT yang melibatkan walikota
Cilegon beberapa hari lalu itu, sebab bukan kali ini saja OTT dilakukan di
Banten,” kata dia kepada Krakatau Radio, Selasa (26/09).
Uday menyebutkan, sebelumnya OTT pernah
dilakukan di Banten, diantaranya terkait Bank Banten dan terkait suap Pilkada
Kabupaten Lebak.
Menurut dia, terdapat beberapa penyebab kenapa banyak kasus
korupsi yang menjerat Kepala Daerah. Pertama, kata Uday, sifat serakah
dari sosok pemimpin. Hal ini menjadi penyebab utama karena pendapatan yang
besar tidak menjamin seseorang untuk berhenti mencari kekayaan.
“Dasar tabiat manusia yang serakah
tadi maka itu tetep dilakukan. Kedua, efek jera yang dilakukan kepada koruptor
ini masih lemah,” tambah dia.
Efek jera yang dimaksud Uday adalah
hukuman yang diberikan kepada koruptor cenderung tidak membuat kapok para
kepala daerah yang lain untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
“Sudah ada sebetulnya yang kita bisa
jadikan rujukan, anggota DPR RI. Itu dirampas semua hartanya. Saya kira kalau
itu dilakukan oleh semua koruptor artinya kekayaan itu semuanya diambil oleh
negara, disita, dimiskinkan, saya optimis akan ada efek jera terhadap para
koruptor,” ujar dia.
Ketiga terkait dengan lemahnya pengawasan
dari penegak hukum kepada para koruptor yang sudah menjadi terpidana, sehingga para
terpidana ini masih bisa memberikan kendali meskipun didalam penjara.
“Artinya apa ini. Artinya ada
oknum aparat di LP (Lembaga Permasyrakatan,red), rutan (rumah tahanan,red) yang
main dengan terpidana. Dia diberikan fasilitas komunikasi, kemudian akses untuk
bertemu dengan orang diluar penjara. Ini menjadi persoalan serius. Kenapa sih tidak
dikhususkan saja bikin penjara khusus koruptor,” imbuh dia. (Mudofar)
Tidak ada komentar