Hip Hop di Mata Young Lex
"Boleh sambil ngopi?" tanya Samuel Alexander Pieter. Saya mengangguk, dan ia tersenyum lega. Lebih santai kalau begini, katanya.
Butuh waktu untuk membongkar persona lelaki berusia 24 tahun ini. Di atas panggung, ia dikenal dengan nama Young Lex. Lagu-lagu hip hop yang ia lansir menuai kecaman tajam dan pujian –meski kritik yang ia terima jelas lebih membanjir.
Dalam kariernya yang terbilang singkat, Young Lex telah dicibir sebagai perusak moral bangsa, musisi kampungan, dan rapper murahan yang mencoreng reputasi musik hip hop.
Penggemar fanatiknya, yang ia juluki Lex Sugar, rela menabung berbulan-bulan demi membeli aksesorinya dan menempuh perjalanan ribuan kilometer demi menyambangi konsernya.
Pembenci fanatiknya, yang sejauh ini belum punya julukan, mengawasi setiap gerak-geriknya di media sosial dan konsisten memastikan bahwa angka dislike di setiap videonya terlalu mencolok untuk dibiarkan.
Sam –begitu ia akrab disapa– bersandar di sofa, menyeruput kopi sembari menyicil sepotong roti cokelat. Di kursi seberang, manajer dan teman baiknya sibuk bermain ponsel. Sesekali, mereka menanggapi ocehan Sam dengan sanggahan dan lelucon.
Sore itu, ia tampak tenang dan penuh canda. Setiap kata yang ia ucapkan dipilih dengan hati-hati –baik kata yang dirancang untuk menghindari kontroversi, maupun kata yang dirancang untuk menyulut keributan.
Sepanjang wawancara kami, ia berulang kali mengucapkan "Yoks" dan "Ngerti gak?", seolah ingin memastikan bahwa pesan yang hendak ia ungkapkan betul-betul dipahami oleh lawan bicaranya.
Namun, lebih dari apapun, sore itu Samuel Alexander Pieter butuh secangkir kopi dan sebatang rokok. Supaya lebih santai.
Butuh waktu untuk membongkar persona lelaki berusia 24 tahun ini. Di atas panggung, ia dikenal dengan nama Young Lex. Lagu-lagu hip hop yang ia lansir menuai kecaman tajam dan pujian –meski kritik yang ia terima jelas lebih membanjir.
Dalam kariernya yang terbilang singkat, Young Lex telah dicibir sebagai perusak moral bangsa, musisi kampungan, dan rapper murahan yang mencoreng reputasi musik hip hop.
Penggemar fanatiknya, yang ia juluki Lex Sugar, rela menabung berbulan-bulan demi membeli aksesorinya dan menempuh perjalanan ribuan kilometer demi menyambangi konsernya.
Pembenci fanatiknya, yang sejauh ini belum punya julukan, mengawasi setiap gerak-geriknya di media sosial dan konsisten memastikan bahwa angka dislike di setiap videonya terlalu mencolok untuk dibiarkan.
Sam –begitu ia akrab disapa– bersandar di sofa, menyeruput kopi sembari menyicil sepotong roti cokelat. Di kursi seberang, manajer dan teman baiknya sibuk bermain ponsel. Sesekali, mereka menanggapi ocehan Sam dengan sanggahan dan lelucon.
Sore itu, ia tampak tenang dan penuh canda. Setiap kata yang ia ucapkan dipilih dengan hati-hati –baik kata yang dirancang untuk menghindari kontroversi, maupun kata yang dirancang untuk menyulut keributan.
Sepanjang wawancara kami, ia berulang kali mengucapkan "Yoks" dan "Ngerti gak?", seolah ingin memastikan bahwa pesan yang hendak ia ungkapkan betul-betul dipahami oleh lawan bicaranya.
Namun, lebih dari apapun, sore itu Samuel Alexander Pieter butuh secangkir kopi dan sebatang rokok. Supaya lebih santai.
Tidak ada komentar