Saat Single Mom Ditantang Mengasuh Remaja Laki-Laki Seorang Diri
Vemale.com - Beberapa hari belakangan ini, mencuat topik
diskusi online single parenting yang tak jauh berbeda dengan yang sedang
dibicarakan di komunitas SPINMOTION (Single Parents Indonesia in
Motion). Dua diantaranya menyatakan, semenjak anak - anak laki - lakinya
masuk SMA, anak - anak ini cenderung berubah dan berani membantah.
Bahkan secara terang - terangan menunjukkan sikap menentang.
Kedua single moms ini bercerita, anak - anaknya sejak kecil ditinggal oleh ayah kandungnya tanpa mendapat perhatian sama sekali. Mereka tumbuh menjadi remaja di awal SMA yang susah untuk dikendalikan, membangkang dan seenaknya sendiri. Sebuah dilema manakala kedua single moms inilah satu - satunya dewasa dan orang tua di rumah. Para ibu ini juga harus pandai - pandai memanfaatkan dan membagi waktu yang ada untuk bekerja demi menghidupi keluarga. Kurang perhatiankah? Atau kehilangan kendalikah orang tuanya? Masalah hormonalkah? Pengaruh lingkungankah? Dan masih banyak pertanyaan mengenai penyebab dari kondisi ini.
Sebagai seorang mantan anak yatim yang dibesarkan oleh seorang janda sejak usia lima tahun, saya berusaha memutar ulang memori saat saya berada pada masa yang sama dengan anak-anak ini.
Anak-anak ini berada pada kondisi tak puas pada hidupnya. Itu kemungkinan besarnya. Kehilangan sosok ayah, wafat atau bercerai membuat seorang remaja laki - laki membawa 'lubang besar' dalam jiwanya. Mereka kehilangan figur seorang ayah atau laki - laki yang bisa dicontoh dan dihormati. Lubang ini selayaknya bisa diisi oleh 'peran pengganti', misalnya kakek, paman, atau jika ada kakak kandungnya. Namun manakala tidak ada yang bisa menggantikannya, lubang ini akan selalu mengikuti sampai kapanpun mereka dewasa. (Untung lubang saya 'lumayan' terisi penuh, karena saya dibesarkan oleh keluarga besar yang saling mengisi). Terlebih apabila mengingat kedua ayah kandung mereka justru telah mencontohkan satu tindakan yang tidak bertanggungjawab, yaitu menelantarkan dan mengabaikan total semenjak perceraian terjadi. Profil seorang ayah ideal pun menjadi semakin kabur dan hilang dalam catatan mereka. Hal ini membuat mereka semakin tak puas, kecewa, marah dan pada level tertentu akan mengalami frustasi yang berkepanjangan.
Anak-anak ini tumbuh dengan kondisi 'menyalahkan' atau 'mencari kesalahan'. Hidup tanpa ayah kandung karena sebuah perceraian sudahlah cukup berat bagi anak - anak laki - laki seperti mereka, apalagi jika ditambah dengan 'kehilangan' karena ketidakhadiran ibunya yang sibuk bekerja. Alih - alih berterima kasih dan menghormati apa yang telah dilakukan oleh ibunya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, anak - anak ini justru menyalahkan ibunya atas kondisi yang sedang dialaminya. Kondisi perubahan dari anak - anak menjadi remaja yang tidak terpenuhi kebutuhan rohaninya yang belum berdamai dengan kekecewaan atas perjalanan hidupnya. Kondisi yang seringkali pula malah diperburuk dengan tanggapan dari ibu - ibu mereka yang justru malah turut merasa bersalah dan mengaku salah.
Lalu saran saya kepada para single moms ini, ada eberapa hal yang berdasar dan dilatarbelakangi pada pengalaman saya. Saya bukan psikolog dan ahli jiwa, bahkan belum pernah mencapai gelar sarjana. Sayapun hanya seorang orang tua tunggal bagi kedua anak - anak laki - laki saya, yang suatu saatpun mereka akan beranjak remaja dan dewasa.
Di saat - saat tertentu, dan jika perlu, tunjukkan 'taring' anda. Tunjukkan kalau Anda juga bisa murka. Murka demi kepentingan dan kebaikan kawanan dan anak - anak Anda. Para serigala muda yang beranjak remaja mencoba 'menantang' Anda. Namun, tentunya sambil tetap menanamkan nilai - nilai kebajikan ajaran agama, kemanusiaan dan etika. Perceraian, perjuangan setelah perceraian, perjalanan mereka menjadi tumbuh besar tanpa ayah kandung mereka, adalah jalan yang memang harus dijalani sebaik-baiknya. Baik dalam segala ukuran dan aturan, terutama ukuran dan aturan agama. Karena hanya yang baik yang akan mendapatkan kebaikan dan yang buruk pasti akan berujung pada kehancuran.
Moms, mungkin untuk menananamkan kepada remaja seusia mereka tentang pahala dan dosa sudah lebih sulit ketimbang kepada anak laki - laki usia SD. Namun 'why not?' Trik inipun tetap layak dan patut untuk dicoba. Bukankah konsep 'pahala' dan 'dosa' ada dalam semua aturan agama. Bukankah 'siapa menanam dia mengetam' dan itulah kenapa Tuhan menciptakan 'surga' dan 'neraka'? So, jadikan mereka menjadi para 'pengumpul pahala' kembali dan 'pembenci dosa' serta jadikan mereka para penakut. Takut kepada Tuhannya yang diawali dengan takut kepada nerakaNya. Seperti yang saya tanamkan selama ini 'cukup berhasil' kepada kedua anak laki - laki saya, yang nantipun akan mengalami fase yang sama. Fase dimana anak - anak serigala yang lucu, membesar, tumbuh taringnya, menjadi remaja kemudian mencoba berani 'menantang' induknya.
Kedua single moms ini bercerita, anak - anaknya sejak kecil ditinggal oleh ayah kandungnya tanpa mendapat perhatian sama sekali. Mereka tumbuh menjadi remaja di awal SMA yang susah untuk dikendalikan, membangkang dan seenaknya sendiri. Sebuah dilema manakala kedua single moms inilah satu - satunya dewasa dan orang tua di rumah. Para ibu ini juga harus pandai - pandai memanfaatkan dan membagi waktu yang ada untuk bekerja demi menghidupi keluarga. Kurang perhatiankah? Atau kehilangan kendalikah orang tuanya? Masalah hormonalkah? Pengaruh lingkungankah? Dan masih banyak pertanyaan mengenai penyebab dari kondisi ini.
Sebagai seorang mantan anak yatim yang dibesarkan oleh seorang janda sejak usia lima tahun, saya berusaha memutar ulang memori saat saya berada pada masa yang sama dengan anak-anak ini.
Anak-anak ini berada pada kondisi tak puas pada hidupnya. Itu kemungkinan besarnya. Kehilangan sosok ayah, wafat atau bercerai membuat seorang remaja laki - laki membawa 'lubang besar' dalam jiwanya. Mereka kehilangan figur seorang ayah atau laki - laki yang bisa dicontoh dan dihormati. Lubang ini selayaknya bisa diisi oleh 'peran pengganti', misalnya kakek, paman, atau jika ada kakak kandungnya. Namun manakala tidak ada yang bisa menggantikannya, lubang ini akan selalu mengikuti sampai kapanpun mereka dewasa. (Untung lubang saya 'lumayan' terisi penuh, karena saya dibesarkan oleh keluarga besar yang saling mengisi). Terlebih apabila mengingat kedua ayah kandung mereka justru telah mencontohkan satu tindakan yang tidak bertanggungjawab, yaitu menelantarkan dan mengabaikan total semenjak perceraian terjadi. Profil seorang ayah ideal pun menjadi semakin kabur dan hilang dalam catatan mereka. Hal ini membuat mereka semakin tak puas, kecewa, marah dan pada level tertentu akan mengalami frustasi yang berkepanjangan.
Anak-anak ini tumbuh dengan kondisi 'menyalahkan' atau 'mencari kesalahan'. Hidup tanpa ayah kandung karena sebuah perceraian sudahlah cukup berat bagi anak - anak laki - laki seperti mereka, apalagi jika ditambah dengan 'kehilangan' karena ketidakhadiran ibunya yang sibuk bekerja. Alih - alih berterima kasih dan menghormati apa yang telah dilakukan oleh ibunya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, anak - anak ini justru menyalahkan ibunya atas kondisi yang sedang dialaminya. Kondisi perubahan dari anak - anak menjadi remaja yang tidak terpenuhi kebutuhan rohaninya yang belum berdamai dengan kekecewaan atas perjalanan hidupnya. Kondisi yang seringkali pula malah diperburuk dengan tanggapan dari ibu - ibu mereka yang justru malah turut merasa bersalah dan mengaku salah.
Lalu saran saya kepada para single moms ini, ada eberapa hal yang berdasar dan dilatarbelakangi pada pengalaman saya. Saya bukan psikolog dan ahli jiwa, bahkan belum pernah mencapai gelar sarjana. Sayapun hanya seorang orang tua tunggal bagi kedua anak - anak laki - laki saya, yang suatu saatpun mereka akan beranjak remaja dan dewasa.
Di saat - saat tertentu, dan jika perlu, tunjukkan 'taring' anda. Tunjukkan kalau Anda juga bisa murka. Murka demi kepentingan dan kebaikan kawanan dan anak - anak Anda. Para serigala muda yang beranjak remaja mencoba 'menantang' Anda. Namun, tentunya sambil tetap menanamkan nilai - nilai kebajikan ajaran agama, kemanusiaan dan etika. Perceraian, perjuangan setelah perceraian, perjalanan mereka menjadi tumbuh besar tanpa ayah kandung mereka, adalah jalan yang memang harus dijalani sebaik-baiknya. Baik dalam segala ukuran dan aturan, terutama ukuran dan aturan agama. Karena hanya yang baik yang akan mendapatkan kebaikan dan yang buruk pasti akan berujung pada kehancuran.
Moms, mungkin untuk menananamkan kepada remaja seusia mereka tentang pahala dan dosa sudah lebih sulit ketimbang kepada anak laki - laki usia SD. Namun 'why not?' Trik inipun tetap layak dan patut untuk dicoba. Bukankah konsep 'pahala' dan 'dosa' ada dalam semua aturan agama. Bukankah 'siapa menanam dia mengetam' dan itulah kenapa Tuhan menciptakan 'surga' dan 'neraka'? So, jadikan mereka menjadi para 'pengumpul pahala' kembali dan 'pembenci dosa' serta jadikan mereka para penakut. Takut kepada Tuhannya yang diawali dengan takut kepada nerakaNya. Seperti yang saya tanamkan selama ini 'cukup berhasil' kepada kedua anak laki - laki saya, yang nantipun akan mengalami fase yang sama. Fase dimana anak - anak serigala yang lucu, membesar, tumbuh taringnya, menjadi remaja kemudian mencoba berani 'menantang' induknya.
Tidak ada komentar