Tradisi Munggahan

 
Setiap tradisi merupakan budaya turun temurun yang mau tidak mau harus dipertahankan oleh setiap generasinya , serta harus dipegang teguh karena itu salah satu bentuk rasa hormat kita terhadap leluhur di daerah tempat tradisi itu berkembang.
Melestarikan dan mewariskan suatu tradisi adalah kewajiban kita sebagai generasi muda yang harus mempertahankannya agar tetap menjadi budaya dan tidak hilang karena pengaruh globalisasi dan modernisasi.
Seperti halnya di akhir bulan Sya’ban, menjelang bulan Ramadhan, ada sebuah tradisi yang sampai saat ini masih kerap dilaksanakan oleh masyarakat. Khususnya di tatar sunda, Jawa Barat. Hampir setiap daerah, setiap desa, setiap kota tidak melewatkan moment ini. Bahkan setiap daerah memiliki keunikan dan keanekaragaman masing-masing dalam tradisi menyambut datangnya bulan Ramadhan.
Tradisi ini dinamakan “Munggahan”berikut penjelasan lebih lanjut dari tradisi Munggahan.
1. Apa itu Munggahan ?
Secara etimologis Munggahan berasal dari kata unggah yang memiliki arti mancat atau memasuki tempat yang agak tinggi. Kata unggah dalam kamus Basa Sunda berarti kecap pagawean nincak ti han-dap ka nu leuwih luhur, naek ka tempat nu leuwih luhur (Danadibrata, 2006:727), artinya kata kerja beranjak dari bawah ke yang lebih atas, naik ke tempat yang lebih atas. Di dalam Kamus Umum Bahasa Sunda (1992), munggah berarti hari pertama puasa pada tanggal satu bulan ramadhan.
Dari sumber lain menurut Abdullah Alawi Munggahan berasal dari kata unggah yang berarti naik undakan untuk masuk, misalnya ke rumah atau ke masjid (dulu rumah dan masjid berbentuk panggung). Dalam lidah orang Sunda kata unggah sering diawali huruf ‘m’ hingga akrab dilafalkan munggah. Kata ini sering dikaitkan dengan proses ibadah haji (munggah haji). Dalam ibadah ini terjadi proses naik (bergerak) secara lahiriyah dan (seharusnya) batiniyah. Secara lahiriyah berarti naik pesawat terbang atau kapal laut. Sedangkan secara batiniyah adalah berubah dari sifat yang buruk menjadi lebih baik (mabrur).
Sedangkan “munggah” dalam menghadapi bulan puasa, yaitu unggah kana bulan nu punjul darajatna, artinya naik ke bulan yang luhur derajatnya. Dari kata munggah tersebut tersirat perubahan, baik secara lahiriyah dan (seharusnya) batiniyah. Secara lahiriyah misalnya, kita harus menahan diri dari rasa haus dan lapar. Jadwal makan berubah dari biasanya. Tapi seharusnya berubah dalam pemikiran, ibadah, sikap hidup dst. yang tentunya ke arah yang lebih baik. Seandainya semua itu terlaksana, itulah orang yang benar-benar menang, (suci, fitri) di hari lebaran.
Seiring dengan perkembangan zaman Munggahan hanya diartikan sebagai makan-makan atau kumpul-kumpul bersama keluarga atau teman dalam menyambut bulan ramadhan. Meski tradisi munggahan mulai memudar, walau belum hilang secara keseluruhan, tapi dengan acara makan bersama tersebut diharapkan bisa mempererat tali silaturahmi.
2. Bentuk Kegiatan Munggahan
Biasanya Munggahan dilaksanakan satu atau dua hari menjelang bulan Ramadhan. Masyarakat melaksanakan momentum ini dengan berbagai macam kegiatan seperti acara makan bersama-sama (botram) dengan keluarga, sanak saudara, kerabat dekat, dan tetangga di pegunungan, sawah, dan bukit-bukit. Adapun bentuk kegiatan lain dari tradisi munggahan yaitu ada yang mengunjungi tempat wisata dengan keluarga ataupun acara resmi keagamaan, dan ada yang berziarah ke makam wali, kuburan orang tua, syekh dan ulama penyebar Islam di suatu daerah.
Saling memaafkan di antara sesama kaum Muslim terutama dengan kerabat, bermaksud untuk membersihkan jiwa dari segala dosa sesama manusia. Hal itu tercermin pula dalam Alquran sebagai suatu perbuatan untuk menggapai kebahagian, yaitu yang artinya “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu” (Quran surah Asyams).
Selain menyucikan jiwa dari dosa dengan sesama manusia, dengan Yang  Maha Kuasa, juga menyucikan fisik yang dianjurkan dalam agama Islam khususnya. Hal itu dapat terlihat dalam Alquran yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Quran surah Al-baqarah 222).
Intinya sama, yakni untuk mempersiapkan diri memasuki sasih siyam. Warga yang pergi ziarah, umpamanya, bermaksud menyucikan diri dan mengingatkan diri pada kematian. Di suatu kampung ada yang pergi ke sawah untuk botram (makan bersama-sama) bersama warga sekampung. Tapi, kebiasaan ini sekarang agak sedikit menghilang. Lagi-lagi globalisasi yang dipersalahkan. Kemudian, bagi orang Sunda yang masih kental memegang tradisi dari Islam Jawa, akan melakukan prosesi nyadran atau menggelar malam nifsyu syaban. Ya, tujuannya sama yakni untuk bersiap diri menghadapi rongkahna (dahsyatnya) gangguan di bulan Ramadhan.
Dalam tradisi “munggah”, biasanya seluruh anggota keluarga yang berada di luar kota akan berkumpul di tempat orang tuanya yang umumnya berada di pedesaan. Ini dilakukan untuk menjadi keharmonisan hubungan keluarga, menikmati saat santap sahur bersama yang sangat jarang dilakukan. Namun kini akibat pengaruh migrasi, tradisi “munggah” tidak lagi dianggap perlu dilakukan di kampung, di kota pun bisa. Misalnya dengan mengunjungi tempat hiburan atau tempat-tempat yang memungkinkan tetap mempertahankan tradisi ini. Kegiatan “munggah” umumnya dilakukan oleh individu, keluarga, dan kelompok masyarakat. Yang biasanya menonjol biasanya berupa kegiatan bersuci atau mandi besar, kemudian tabuhan-tabuhan bedug setelah salat subuh hingga menjelang malam pertama Ramadhan, dan acara membersihkan makam, serta makan bersama.
Dari sekian kegiatan munggahan, yang menonjol dari tradisi ini adalah, acara makan bersama yang selalu menjadi pusat perhatian. Tidak jarang pula, setiap kantor-kantor mengadakan acara Munggahan ini bersama para karyawannya.
Acara makan ini menjadi sangat menarik, manakala acara ini di selenggarakan di tempat-tempat tertentu yang menjadi favoritnya. Seperti di sekitar kebun pinggir sawah, sambil menikmati makanan dan pemandangan serta alam yang indah dan sejuk.
Menu yang biasa disajikan dalam acara munggahan ini adalah bakar ikan, dengan pelengkap lalaban, sambal terasi, atau sambal dadak serta nasi liwet yang panas. Lebih enak lagi kalau nasi liwetnya disajikan di atas daun pisang. Dengan begitu, rasa kebersamaannya pun lebih terasa. Itu merupakan sajian yang lezat dan menjadi ciri khas ketika berada di kampung.
Makan bersama pada waktu munggah rasanya berbeda dengan hari-hari biasa, lebih spesial. Tentunya masyarakat juga menyiapkan menu yang lebih mewah dibanding hari-hari biasa untuk makan sahur pertama. Orang yang kurang mampu banyak juga yang memaksakan untuk membeli lauk yang sedikit lebih mewah karena mereka menganggap setahun sekali tidak apa-apa makan mewah. Bahkan ada yang rela untuk berhutang kepada tetangganya. Bisa terlihat bagaimana antusias masyarakat pada tradisi munggahan ini. Karena itulah tradisi ini perlu dipelihara, jangan sampai pudar di makan zaman.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.